Rabu, 12 November 2014

Tata Hukum Indonesia

TATA HUKUM INDONESIA



A.     Pengertian Tata Hukum
Jika kita berbicara hukum, maka hukum dalam bahasa Inggris “Law”, Belanda “Recht”, Jerman “Recht”, Italia “Dirito”, Perancis “Droit”. Hukum hidup dalam pergaulan hidup manusia, seperti kita lihat cerita Robinson Croese yang terdampar di sebuah pulau dimana ia hidup sendiri dan ia dapat berbuat sesuka hatinya tanpa ada yang menghalanginya. Ia tidak butuh hukum, artinya hukum itu baru dibutuhkan dalam pergaulan hidup. Dimana fungsinya adalah
memperoleh ketertiban dalam hubungan antar manusia. Menjaga jangan sampai seseorang dapat dipaksa oleh orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak kehendaknya, dan lain-lain.
Tetapi ada faktor lain selain tata tertib yang terdapat pada hukum yaitu keadilan, suatu sifat khas pada hukum yang tidak terdapat pada ketentuan-ketentuan lainnya yang bertujuan untuk mencapai tata tertib. Jadi hukum itu berkenaan dengan kehidupan manusia, ialah manusia dalam hubungan antar manusia untuk mencapai tata tertib didalamnya berdasarkan keadilan.
Dalam hubungan Hukum dan Negara, baik hukum maupun negara muncul dari kehidupan manusia karena keinginan bathinnya untuk memperoleh tata tertib. Sehubungan dengan hal itu mengingat tujuan negara adalah menjaga dan memelihara tata tertib. Di Negara Indonesia seperti kita ketahui bahwa tata hukum di Indonesia ialah hukum yang berlaku sekarang di Indonesia (Ius Constitutum), berlaku disini berarti yang memberikan akibat hukum pada peristiwa-peristiwa dalam pergaulan hidup, sedangkan sekarang adalah menunjukkan kepada pergaulan hidup yang ada pada saat ini dan bukan pergaulan hidup masa lampau, di Indonesia menunjukkan kepada pergaulan hidup yang terdapat pada Republik Indonesia dan bukan negara lain. Tata hukum disebut juga Hukum Positif atau Ius Constitutum, sedang hukum yang dicita-citakan adalah Ius constituendum.
Hukum yang berlaku, terdiri dari dan diwujudkan oleh aturan-aturan hukum yang saling berhubungan, dan oleh karena itu keberadaannya merupakan suatu susunan atau tatanan sehingga disebut tata hukum. Suatu masyarakat yang menetapkan tat hukum bagi masyarakat itu sendiri dan tunduk pada tata hukum tersebtu, disebut masyarakat hukum.
Tata Hukum Indonesia ditetapkan oleh masyarakat hukum Indonesia atau oleh negara Indonesia. Oleh sebab itu Tata Hukum Indonesia ada sejak Proklamasi Kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini berarti bahwa sejak saat itu bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk menentukan dan melaksanakan hukumnya sendiri, yaitu hukum bangsa Indonesia dengan tata hukumnya yang baru inilah Tata Hukum Indonesia.
Di dalam memorandumnya tertanggal 9 Juni 1966, DPRGR antara lain menyatakan bahwa : Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah detik ‘penjebolan’ tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional, tertib hukum Indonesia dan seterusnya ….
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa Proklamasi berarti :
1.        Menegarakan Indonesia, menjadi suatu negara;
2.        Pada saat itu pula menetapkan Tata Hukum Indonesia.
Meskipun kita telah merdeka dan berdaulat dan telah pula dapat merubah sistem dan dasar susunan ketatanegaraan, namun dalam bidang hukum belum mampu mengubah sama sekali hukum yang sudah berlaku dalam masyarakat. Ketidakmampuan ini diakui negara, yaitu dengan selalu mengadakan peraturan peralihan dalam undang-undang dasarnya (Pasal peralihan adalah pasal yang berisi petunjuk mengenai peralihan dari tata hukum yang lama ke tata hukum yang baru).
Pasal  peralihan yang dimaksud terdapat pada Pasal II aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut : “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Pada peraturan peralihan ini diharapkan supaya hal-hal atau segala sesuatu yang masih hidup dan terdapat dalam masyarakat boleh dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan keputusan baru yang dibuat, atau dalam tata hukum yang baru belum diatur, maka  perlu dicari peraturan yang mengatur hal tersebut sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi peraturan peralihan ialah mencegah terjadinya kevakuman hukum.
Guna mencegah kekosongan  atau kevakuman itu, dengan melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 diberlakukan peraturan-peraturan yang berasal dari  zaman Hindia Belanda selama tidak bertentangan atau belum dibuat menurut UUD baru.
Namun demikian tidaklah berarti bahwa tata hukum Indonesia adalah kelanjutan dari tata hukum  Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan jiwa UUD 1945. Keadaan demikian pun terjadi pada waktu kita di bawah  Konstitusi RIS maupun di bawah UUD 1950. Dalam kedua konstitusi itu  pun tercantum adanya peraturan peralihan, masing-masing terdapat pada Pasal 192 UUD RIS dan Pasal 142 UUD 1950.
B.      Sejarah Hukum Dan Politik Hukum Indonesia
Seperti diketahui, bahwa di Indonesia terdapat beraneka ragam peraturan perundang-udangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia sejak Proklamasi 17 Agusus 1945. Disamping peraturan tersebut juga terdapat peraturan-peraturan zaman penjajahan Hindia Belanda dan bala tentara jepang yang masih berlaku di Indonesia. Oleh karena itu dalam pembahasan Tata Hukum Indonesia tidaklah dapat lepas dari pembahasan sejarah Perkembangan Tata Hukum Indonesia sejak kekuasaan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Penjajahan Hindia Belanda sampai dengan Penjajahan balatentara Jepang. Berikut ini dibahas secara singkat sejarah perkembangan Tata Hukum Indonesia.
a. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
VOC yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa (octrooi) seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak uang.
Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di belanda memberikan wewenang kepada Gebernur Jederal Piere Bith untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara Istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasainya, disamping ia dapat memutuskan perkara perdata dan pidana. Peraturan-peraturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui “plakat”.
Pada tahun 1642 plakat-plakat tersebut disusun secara sistimatis dan diumumkan dengan nama “Statuta van Batavia” (statuta batavia) dan pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama “Niewe Bataviase Statuten” (statuta Batavia Baru). Peraturan statuta ini berlaku diseluruh daerah-daerah kekuasaan VOC berdampigan berlakunya dengan aturan-aturan hukum lainnya sebagai satu sistem hukum sendiri dari orang-orang Pribumi dan Orang-Orang pendatang dari luar.
b.  Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942
Sejak berakhirnya kekuasaan VOC pada tanggal 31 Desember 1977 dan dimulainya Pemerintahan Hindia Belanda pada Tanggal 1 Januari 1800, hingga masuk pemerintahan jepang, banyak peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Yang menjadi pokok peraturan pada zaman Hindia belanda adalah:
1) Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 termuat dalam Stb 1847 No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat beberapa peraturan lain yang juga diberlakukan antara lain:
o  Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi Pengadilan.
o  Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil/Perdata (KUHS/KUHP)
o  Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
o  Reglement op de Burgerlijke Rechhtsvordering (RV) atau peraturan tentang Acara Perdata.
Semua peraturan itu diundangkan berlaku di Hindia Belanda sejak tanggal 1 Mei 1845 melalui Stb 1847 No. 23.
2) Regering Reglement (R.R.), diundangkan pada tanggal 2 September 1854, yang termuat dalam Stb 1854 No. 2. Dalam masa berlakunya R.R. selain tetap memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada juga memberlakukan Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3) Indische Staatsregeling (I.S.), atau peraturan ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pengganti dari R.R Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926.
c. Penjajahan Tentara Jepang
Peraturan pemerintahan Jepang adalah Undang-Undang No.1 tahun 1942 (Osamu Sirei) yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan kekuasaan Jepang.
            Berlakunya hukum dalam suatu negara ditentukan oleh Politik hukum negara yang bersangkutan, disamping kesadaranan hukum masyarakat dalam negara itu. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan politik hukum hendaknya perlu diketahui terlebih dahulu arti Politik Hukum. Arti Politik Hukum adalah Suatu jalan (kemungkinan) untuk memberikan wujud sebenarnya kepada yang dicita-citakan. Dapat pula dilihat pendapat Padmo Wahyono bahwa Politik Hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi hukum yang akan dibentuk. Pendapat dari Teuku Mohammada Radhie, S.H (Prisma No. 6 Thn. ke II Des. 1973) menyatakan; “Adapun politik hukum di sini hendak kita artikan sebagai pernyataan kehendak Penguasa  Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah ke mana hukum hendak dikembangkan”. Oleh karena itu berdasarkan pengertian tersebut, suatu politik hukum memiliki tugasnya meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha membuat suatu ius constituendum menjadi ius constitutum atau sebagai penganti ius constitutum yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan politik hukum berbeda artinya dengn ilmu politik, sebab ilmu politik memiliki pengertian menyelidiki sampai seberapa jauh batas realisasi yang dapat melaksanakan cita-cita sosial dan kemungkinan apa yang dapat dipakai untuk mancapai suatu pelaksanaan yang baik dari cita-cita sosial itu. Politik hukum suatu negara biasanya dicantumkan dalam Undang-Undang Dasarnya tetapi dapat pula diatur dalam peraturan-peraturan lainnya. Politik Hukum dilaksanakan melalui dua segi, yaitu dengan bentuk hukum dan corak hukum tertentu. Bentuk hukum itu dapat:
(1) Tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang ditulis dalam suatu Undang-Undang dan berlaku sebagai hukum positif. Dalam bentuk tertulis ada dua macam yaitu:
a.      Kodifikasi ialah disusunnya ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah kitab secara sistematik dan teratur.
b.      Tidak dikodifikasikan ialah sebagai undang-undang saja.
(2)   Tidak tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai hukum yang semula merupakan kebiasaan-kebiasaan dan hukum kebiasaan.
Corak hukum dapat ditempuh dengan:
1)      Unifikasi yaitu berlakunya satu sistem hukum bagi setiap orang dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
2)      Dualistis yaitu berlakunya dua sistem hukum bagi dua kelompok sosial yang berbeda didalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
3)      Pluralistis yaitu berlakunya bermacam-macam sistem hukum bagi kelompok-kelompok sosial yang berbeda di dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
Di atas telah dijelaskan arti, bentuk, dan corak politik hukum, berikut ini dibahas Politik Hukum bangsa Indonesia. Keberadaan Hukum di Indonesia sebagaimana telah dijelaskan diatas sangatlah dipengaruhi oleh keberadaan sejarah hukum. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya undang-undang yang dibuat jaman Hindia Belanda sampai sekarang masih berlaku. Selain itu, masuknya hukum Islam juga mempengaruhi hukum di Indonesia, sebagian permasalahan-permasalahan perdata masih menggunakan hukum Islam. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana politik Hukum Hindia Belanda sehingga dapat memahami bagaimana Politik Hukum Indonesia. Keberadaan Politik hukum Hindia Belanda dapat dilihat berdasarkan berlakunya 3 pokok peraturan Belanda yaitu masa berlakunya AB, RR dan IS.
Masa Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B). Pada masa berlakunya AB politik hukum Pemerinthan penjajahan Hindia belanda dapat dilihat dalam pembagian golongan dan berlakunya hukum bagi masing-masing golongan tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Pasal 5 AB membagi kedalam dua golongan, pasal ini menyatakan bahwa penduduk Hindia Belanda di bedakan kedalam Golongan Eropa (berserta mereka yang dipersamakan) dan Golongan Pribumi (berserta mereka yang dipersamakan dengannya). Sedangkan hukum yang berlaku bagi masing-asing golongan tersebut diatur didalam Pasal 9 AB dan Pasal 11 AB. Adapun yang diatur didalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 9 AB : “Menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum dagang (yang diberlakukan di hindia belanda) hanya akan berlaku untuk orang Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya”.
Pasal 11 AB: “Menyatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh hukum, pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap orang-orang pribumi itu sendiri ditetapkan berlakunya hukum eropa atau orang pribumi yang bersangkutan telah menundukan diri pada hukum eropa”
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka pemerintah penjajahan Belanda melaksanakan politik hukumnya dengan bentuk hukum tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis ada yang dikodifikasikan dan terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK); yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam undang-undang dan peraturan lainnya yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan yang tidak tertulis, yaitu hukum perdata Adat dan berlaku bagi setiap orang di luar golongan Eropa. Corak hukumnya dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan satu sistem hukum perdata lain yang berlaku bagi golongan Indonesia.
Membedakan golongan untuk memberlakukan hukum perdataberdasarkan sistem hukum dari masing-masing golongan menurut pasal 11 AB itu sangat sulit dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan yang tegas walaupun ada ketentuan pembagian golongan berdasarkan pasal 5. Dalam pasal 5 hanya menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra, orang yang disamakan dengan orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Bumiputra.
Pembagian golongan menurut pasal 5 hanya berdasarkan kepada perbedaan agama, yaitu yang beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang tidak beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia. Karena itu dapat dikatakan bahwa bagi setiap orang yang beragama Kristen yang bukan orang Eropa kedudukan golongannya sama dengan orang Eropa, berarti bagi orang Indonesia Kristen termasuk orang yang disamakan dengan orang Eropa. Hal ini tentunya berlaku juga bagi orang-orang Cina, Arab, India dan orang-orang lainnya yang beragama Kristen disamakan dengan orang Eropa. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama Kristen selain orang Indonesia dipersamakan kedudukannya dengan orang bumiputra. Tetapi karena pasal 10 AB memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk menetapkan peraturan pengecualian bagi orang Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10, pasal 3 nya Gubernur Jenderal menetapkan bahwa “orang Indonesia Kristen dalam lapangan hukum sipil dan hukurn dagang juga mengenai perundang-undangan pidana dan peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk golongan orang bumiputra dan tidak dipersamakan dengan orang Eropa.
Masa Regering Reglement (R.R.). Politik hukum pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam pasal 75 RR yang pada asasnya seperti tertera dalam pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya tetap dalam dua golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi melainkan atas kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah” Dan ketentuan terhadap pembagian golongan ini dicantumkan dalam pasal 109 Regerings Reglement. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 109 RR: “Pada pokoknya sama dengan Pasal 5 AB tetapi orang Pribumi yang beragama Kristen tetap dianggap orang pribumi dan bagi orang Tionghoa, Arab serta India dipersamakan dengan Bumi Putera”.
Pasal 75 RR: “Menyatakan tetap memberlakukan hukum eropa bagi orang eropa dan hukum adat bagi golongan lainnya”.
Pada tahun 1920 RR itu mengalami perubahan terhadap beberapa pasal tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengar sebutan RR (baru) dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya dari tahun 1855 sampai 1926 dinamakan Masa Regerings Reglement.
Sedangkan politik hukum dalam pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan asas terhadap penentuan penghuni menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”. Sedangkan penggolongannya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing.
Masa Indische Staatsregeling (I.S.). Berlakunya IS dengan sendirinya telah menghapus berlakunya RR. Politik Hukum Pemerintahan hindia belanda pasa saat berlakunya IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131 IS. pada Pasal 163 IS mengatur pembagian golongan, yang pada intinya seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR (baru). Sedangkan Pasal 131 IS mengatur hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 163 IS: Penduduk Hindia Belanda dibedakan atas tiga golongan, yakni:
1.        Golongan Eropa
2.        Golongan Bumi Putera
3.        Golongan Timur Asing.
Pasal 131 IS menyatakan beberapa hal yakni :
1.        Menghendaki supaya hukum itu ditulis tetap di dalam ordonansi.
2.        Memberlakukan hukum belanda bagi warga negara belanda yang tinggal di hindia belanda berdasarkan asas konkordansi.
3.        Membuka kemungkinan untuk unifikasi hukum yakni menghendaki penundukan bagi golongan bumiputra dan timur asing untuk tunduk kepada hukum Eropa.
4.        Memberlakukan dan menghormati hukum adat bagi golongan bumi putera apabila masyarakat menghendaki demikian.
Pembagian golongan penghuni berdasarkan Pasal 163 IS sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS.
Diatas telah dijelaskan politik hukum pada masa penjajahan belanda, dibawah ini akan dijelasakan politik hukum Indonesia setelah merdeka. Di dalam UUD 1945 kita tidak menjumpai satu Pasal pun yang menyebutkan masalah politik hukum negara Indonesia. Tersurat memang tidak ada tetapi tersirat dapat kita jumpai pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Lain halnya pada Undang-Undang Dasar 1950, kita dapat menjumpai suatu pasal yang memuat politik hukum negara Indonesia di bawah UUD 1950, yaitu pada pasal 102 yang berbunyi sebagai berikut: “Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan, diatur dengan undang-undang  dalam kitab-kitab hukum, kecuali jika pengundang-undang tersendiri”.
Dari Pasal 102 UUD 1950 kita dapat mengambil kesimpulan bahwa negara Indonesia pada waktu  itu menghendaki dikodifikasikannya lapangan-lapangan hukum tersebut, sehingga Pasal 102 ini terkenal dengan sebutan Pasal Kodifikasi.
Setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kita kembali lagi ke UUD 1945 dan UUD 1950 menjadi tidak berlaku,  berarti Pasal 102 ikut tidak berlaku. Sampai tahun 1970-an, berarti telah merdeka selama lebih seperempat abad lamanya, negara Indonesia belum mempunyai rumusan suatu politik hukum nasional. Baru pada tahun 1973 dengan terbentuknya MPR hasil pemilihan umum lembaga tersebut berhasil menetapkan Ketetapannya Nomor IV/MPR/73 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang di dalamnya secara resmi dan tegas kita selalu diperbaharui setiap Pemerintah RI. Dalam hal ini politik hukum kita selalu diperbaharui  setiap lima tahun sekali , pada tahun 1978 tertuang dalam Tap. MPR No. IV, sedang pada periode 1983 terdapat pada Tap MPR/II. Pada periode 1988 terdapat pada Tap. No. II/MPR/1988 dan Tap No. IV/ MPR/1999. Sehubungan dengan  adanya amandemen UUD 1945 yang ke-3 pada pasal yang berbunyi :
(1)   MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
(2)   MPR melantik Presiden dan/atau Wakil
(3)   MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Dari Pasal 3 ini terlihat tidak ada wewenang MPR menetapkan GBHN lagi.
C.      Pembinaan Hukum Nasional
            Setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai hukum nasional di segala bidang hukum. Masalah pembinaan hukum nasional memang segera setelah proklamasi, menarik perhatian banyak sarjana hukum kita, untuk menyalurkan segala kegiatan pembinaan hukum nasional dalam satu wadah. Pada tahun 1956 Perhimpunan Sarjana Hukum Nasional Indonesia telah mengajukan permohonan kepada Perdana Menteri RI agar dibentuk suatu Panitia negara Pembinaan Hukum Nasional. Denga Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 1958, dibentuklah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional di Jakarta dengan diberi tugas: “ Melaksanakan pembinaan hukum nasional dengan tujuan mencapai tata hukum nasional”.
1.        Menyiapkan rancangan-rancangan peraturan perundangan:
a.        untuk meletakkan dasar-dasar tata hukum nasional;
b.        untuk menggantikan peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan tata hukum nasional;
c.         untuk masalah-masalah yang belum diatur dalam suatu peraturan perundangan.
2.        Menyelenggarakan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturan perundangan.
Setelah mempelajari asas-asas hukum yang hidup di kalangan rakyat Indonesia dan mengadakan rapat dengan orang-orang terkemuka dari berbagai lapisan dan golongan masyarakat, maka lembaga telah berhasil merumuskan dasar-dasar dan asas-asas tata hukum nasional sebagai berikut:
1.        Dasar Pokok Hukum Nasional Ri adalah Pancasila
2.        Hukum nasional bersifat:
a.      Pengayoman;
b.      Gotong-royong;
c.       Kekeluargaan;
d.      Toleransi;
e.      Anti kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme.
Dengan adanya UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 6, Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas:
a.      Pengayoman;
b.      Kemanusiaan;
c.       Kebangssan;
d.      Kekeluargaan;
e.      Kenusantaraan;
f.        Bhineka Tunggal Ika;
g.      Keadilan;
h.      Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.        Ketertiban dan kepastian hukum;dan/atau
j.        Keseimbangan, keserasian dan keselarasan
3.        Semua hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis.
4.        Selain hukum tertulis berlaku hukum tidak tertulis.
5.        Hakim membimbing perkembangan hukum tak tertulis  melalui yurisprudensi ke arah keseragaman hukum yang  seluas-luasnya dan dalam hukum kekeluargaan ke arah sistem parental.
6.        Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin dihimpun dalam bentuk kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara PTUN).
7.        Untuk membangun masyarakat sosialis Indonesia diusahakan unifikasi hukum.
8.        Dalam perkara pidana:
a.        Hakim berwenang sekaligus memutuskan aspek perdatanya baik karena jabatannya maupun atas tuntutan pihak yang berkepentingan.
b.        Hakim berwenang mengambil tindakan yang dipandang  patut dan adil di samping atau tanpa pidana.
9.        Sifat pidana harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk menjadi warga yang bermanfaat bagi masyarakat.
10.    Dalam bidang hukum acara perdata diadakan jaminan supaya peradilan berjalan sederhana, cepat, dan murah.
11.    Dalam bidang hukum acara pidana diadakan ketentuan-ketentuan yang merupakan jaminan kuat untuk mencegah:
a.        Seseorang tanpa dasar hukum yang cukup kuat ditahan atau lebih lama dari yang diperlukan.
b.        Penggeledahan, penyitaan, pembukaan surat-surat dilakukan sewenag-wenang.
Suatu peristiwa yang penting dalam pembinaan hukum nasional adalah penemuan lambang keadilan yang serasi dengan kepribadian bangsa kita yaitu berupa pohon beringin yang berarti ”pengayoman” oleh Menteri Dr. Sahardjo yang menggantikan simbol dari negara barat yang berupa Dewi Keadilan (Themis) yang dibalut matanya dan memegang di satu tangan pedang dan di tangan lain traju (timbangan).
Jasa beliau yang lain adalah pengganti lembaga penjara menjadi lembaga pemasyarakatan yang lebih sesuai dengan sendi-sendi negara kita yang ber-Pancasila. Jasa beliau juga dalam pemecahan kesulitan yang dihadapi oleh para hakim dalam menerapkan perundangan warisan zaman kolonial yaitu BW dan WvK. Menurut beliau, kedua kodifikasi itu tidak berlaku sebagai Wetboek tetapi hanya sebagai suatu rechtboek, yaitu hanya sebagai dokumen yang menggambarkan suatu kelompok hukum yang harus dipakai oelh hakim sebagai “pedoman” dalam melakukan peradilan.
Pembinaan hukum itu artinya tidak saja membuat yang baru, tetapi juga menyesuaikan hukum yang ada di masyarakat. Pembinaan itu sendiri harus mempunyai suatu pola, dalam hal ini adalah wawasan nusantara.
Di dalam negara Republik Indonesia akan hanya dikenal satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Perlu pula kita ingat bahwa hukum yang akan kita susun adalah hukum yang modern, meningkatkan kemampuan sesuai dengan kebutuhan, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.        Konsentris, artinya satu tangan yang mengatur/membuat (yaitu pengundang-undang).
2.        Konvergen, artinya hukum Indonesia bersifat terbuka terhadap perubahan dan perkembangan.
3.        Tertulis, untuk lebih menjamin kepastian hukum.

Tentang Kemerdekaan dan Dunia Internasional

sejaraahh, salah satu pelajaran yang membuat saya 'BERANI MATI!!' hehehe ^^
itu saran guru saya waktu ulangan uraian dan saya tidak bisa menjawab,
beliau hanya berkata, "berani mati aje cah!"
wkakakakak






Komisi Tiga Negara


• Dibentuk karena kepedulian PBB ketika Indonesia kembali diserang Belanda saat Agresi Militer I

• Pembentukan KTN dipertimbangkan berdasarkan usulan India dan Australia agar masalah Indonesia dimasukkan dalam pembicaraan di siding DK PBB

• Usulan ini ditolak oleh Van Kleffens, wakil Belanda di PBB

• Namun, sanggahan Kleffens tidak dihiraukan oleh DK PBB

• Sidangpun dilaksanakan dengan Sutan Syahrir dan H. A. Agus Salim sebagai wakil dari Indonesia

• Pada tanggal 17 Agustus 1947, pihak Indonesia dan Belanda sepakat mengadakan gencatan senjata

• Tanggal 25 Agustus, Amerika mengusulkan agar dikirim Komisi Tiga Negara ke Indonesia

• KTN segera dibentuk dengan anggota sebagai berikut :
o Belgia atas tunjukan Belanda
o Australia atas tunjukan Indonesia
o Amerika Serikat atas tunjukan Belgia dan Australia

• Pada tanggal 26 Oktober 1947, anggota KTN tiba di Indonesia dengan anggotanya :
o Frank Porter Graham dari Amerika Serikat
o Richard C. Kirby dari Australia
o Paul van Zeeland dari Belgia

• Tugas KTN :
o Menguasai secara langsung penghentian tembak menembak sesuai dengan resolusi PBB
o Memasang patok-patok wilayah status quo yang dibantu oleh TNI

• KTN akhirnya mempertemukan kembali Indonesia dan Belanda dalam Perundingan Renville

• Namun, Perundingan Renville ini mengakibatkan wilayah RI makin sempit.






Resolusi DK PBB


• Belanda melancarkan Agresi Militer II

• Hal ini mendapat kecaman dari anggota-anggota PBB

• Akhirnya pada tanggal 28 Januari 1948, DK PBB kembali mengeluarkan resolusi yang isinya :
o Penghentian semua operasi militer oleh Belanda dan penghentian aktifitas gerilya oleh Republik, kedua pihak harus bekerja sama untuk mengadakan perdamaian kembali
o Pembebasan dengan segera dengan tidak bersyarat semua tahanan politik di dalam, daerah Republik dan Belanda sejak tanggal 19 Desember 1949
o Belanda harus memberi kesempatan kepada pemimpin RI untuk kembali ke Jogjakarta
o Perundingan-perundingan akan dilaksanakan dalam waktu yang secepat-cepatnya
o KTN diganti namanya menjadi Komisi PBB untuk Indonesia atau UNCI (United Nations Commision for Indonesia)

• Tugas UNCI adalah melancarkan perundingan-perundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan kepada pemerintah republik dan mengajukan usul-usul yang dapat mempercepat terjadinya penyelesaian






Konferensi Asia


• Tindakan Agresi Militer II Belanda mendapat reaksi keras dari bangsa-bangsa Asia-Afrika

• Reaksi ini diwujudkan dengan mengadakan Konferensi Asia di New Delhi pada tanggal 20-25 Januari 1949

• Konferensi ini diprakarsai oleh PM India Sir Pandit Jawaharlal Nehru dan PM Burma U Aung San

• Delegasi ini dihadiri berbagai perwakilan dari negara-negara di Asia, bahkan dihadiri juga wakil dari Australia

• Keputusan yang dihasilkan adalah sebagai berikut :
 Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke Jogjakarta
 Pembentukan perintah ad interim yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar negeri sebelum tanggal 15 Maret 1949
 Penarikan tentara Belanda dari Indonesia
 Penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia Serikat paling lambat pada tanggal 1 Januari 1950






Belanda Keluar dari Indonesia
Dalam rangka mengembalikan kekuasaannya di Indonesia Belanda menempuh usaha-usaha sebagai berikut:
• Membentuk negara-negara boneka di Indonesia
• Berusaha menjadikan Indonesia sbg Negara Serikat
• Melanggar Perundingan Linggarjari dan Perundingan Renville
• Membentuk Uni Indonesia-Belanda
• Berusaha menguasai Irian Barat

Pembebasan Irian Barat

PEMBEBASAN IRIAN BARAT

Wilayah Irian Barat adalah wilayah yang tidak bisa dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun , sampai peristiwa pengakuan kedaulata dari Belanda kepada Indonesia, Irian Barat masih dikuasai Belanda. Oleh karena itu pula diperjuangkan pembebasannya.
Perjuangan Pembebasan Irian Barat jika diklasifikasikan ada dua strategi, yaitu secara diplomasi dan perjuangan bersenjata.

A. Perjuangan Diplomasi :
1. Upaya Perundingan dengan Belanda
Menurut ketentuan Konferensi Meja Bundar ( KMB ), masalah Irian Barat ditunda penyelesaiannya setahun kemudian. Oleh karena itu, pada waktu berlangsung upacara pengakuan kedaulatan, wilayah Irian barat tidak termasuk sebagai daerah RIS.
Berdasarkan keputusan KMB, semestinya pada akhir tahun 1950 sudah ada upaya Belanda untuk mengembalikan Irian Barat kepada pihak Indonesia. Akan tetapi, tampaknya keputusan KMB yang berkaitan dengan Irian Barat tidak berjalan lancar. Belanda tampak ingin tetap mempertahankan Irian Barat. Oleh karena itulah, Indonesia berusaha mengembalikan Irian Barat melalui upaya diplomasi dan berunding langsung dengan Belanda.
Beberapa kabinet pada masa demokrasi liberal juga memiliki program pengembalian Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia. Setiap kabinet mencoba melakukan perundingan dengan Belanda. Perundingan itu misalnya pada masa Kabinet Natsir, Sukiman, Ali Sastroamidjojo dan Burhanuddin Harahap. Bahkan pada masa Kabinet Burhanudin Harahap diadakan pertemuan antara Menteri Luar Negeri Anak Agung dan Luns di Den Haag. Akan tetapiperundingan-perundingan itu tidak berhasil mengembalikan Irian Barat.

2. Upaya Diplomasi melalui PBB
Sejak tahun 1953 usaha melalui forum PBB dilakukan oleh Indonesia. Masalah Irian barat setiap tahun selalu diusulkan untuk dibahas dalam Sidang Umum PBB. Sampai dengan Desember 1957, usaha malalui forum PBB itu juga tidak berhasil. Sebabnya dalam pemungutan suara, pendukung Indonesia tidak mancapai 2/3 jumlah suara di Sidang Umum PBB.

3. Pembentukan Pemerintahan Sementara
Perjuangan pembebasan Irian Barat juga ditempuh melalui politik dalam negeri. Bertepatan dengan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke- 11, tanggal 17 Agustus 1956, Kabinet Ali Sastroamijoyo membentuk Pemerintahan Sementara Irian Barat. Tujuan pembentukan pemerintahan sementara dalam hal ini adalah pernyataan pembentukan Propinsi Irian Barat sebagai bagian dari RI.
Propinsi Irian Barat yang terbentuk itu meliputi wilayah Irian yang masih diduduki Belanda ditambah daerah Tidore, Oba, Patani dan Wasile di Maluku Utara. Pusat pemerintahan Propinsi Irian Barat berada di Soasiu, Tidore Maluku. Sebagai Gubernurnya Sultan Zaenal Abidin Syah ( Sultan Tidore ). Pelantikannya dilangsungkan tanggal 23 September 1956.
Akibat dari pembentukan pemerintahan sementara Propinsi Irian Barat, antara lain Belanda makin terdesak secara politis. Selain itu Belanda menyadari bahwa Irian barat merupakan bagian Indonesia yang berdaulat.

4. Pemogokan dan Nasionalisasi Berbagai Perusahaan
Selain melalui bidang politik usaha perjuangan untuk membebaskan Irian Barat juga dilancarkan melalui bidang sosial ekonomi. Pada waktu perjuangan pengembalian Irian Barat melalui Sidang Umum PBB pada tahun 1957, Menteri Luar Negeri Indonesia, Subandrio menyatakan akan menempuh jalan lain. Jalan lain yang dimaksud Subandrio memang bukan senjata tetapi berupa konfrontasi ekonomi.
Tanggal 18 Nopember 1957 diadakan gerakan pembebasan Irian Barat dengan melakukan rapat umum di Jakarta. Rapat umum itu diikuti dengan pemogokan total oleh kaum buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda pada tanggal 2 Desember 1957.
Setelah itu terjadilah serentetatn pengambilalihan ( nasionalisasi ) modal dan berbagai perusahaan milik Belanda. Pengambilalihan tersebut semula dilakukan spontan oleh rakyat. Akan tetapi, kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1958. Beberapa contoh perusahaan yang diambilalih oleh Indonesia, antara lain :
a. Perbankan seperti Nederlance Handel Maat schappij (namanya kemudian menjadi Bank Dagang Negara)
b. Perkapalan
c. Perusahaan Listrik Philips
d. Beberapa perusahaan perkebunan
Untuk meningkatkan gerakan dan memperkuat persatuan rakyat Indonesia tanggal 10 Februari 1958 permerintah membentuk Front Nasional Pembebasas Irian Barat

B. Perjuangan dengan Konfrontasi Bersenjata
Secara politik Irian Barat belum berhasil,untuk itu Indonesia mencari alternatif lain, yakni perjuangan dengan konfrontasi bersenjata. Apa saja yang dimaksud dengan perjuangan bersenjata itu ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat menelaah uraian berikut ini.

1. Perjuangan Melalui Trikora
Berbagai cara dan usaha Indonesia untuk membebaskan Irian Barat belum menunjukan hasil yang nyata. Belanda makin bersikap keras dan tidak mau mengalah. Bahkan, Belanda kemudian menyatakan bahwa Irian Barat merupakan wilayah Belanda sebagai bagian dari Nederlands. Oleh belanda, Irian Barat disebut dengan Nederlans-Nieuw Gunea.Menghadapai kenyataan bahwa berbagai cara yang ditempuh belum berhasil maka Indonesia maningkatkan konfrontasi di segala bidang. Tanggal 17 Agustus 1960 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan belanda.
Perjuangan pembebesan Irian Barat selanjutnya diarahkan dengan cara militer.Untuk menghadapi komfrontasi, pemerintahan melakukan perjanjian pembelian senjata dari luar negeri, seperti dengan Uni soviet. Selain itu, Indonesia juga mencari dukungan dengan negara-negara lain.
Melihat aksi Indonesia,Belanda tidak tinggal diam, Bulan April 1961 Belanda membentuk Dewan Papua. Dewan ini akan menyelenggarakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Barat. Bahkan lebih lanjut, Belanda menunjukkan keberanian dan kekuatannya dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Membentuk Negara Boneka Papuadengan lagu dan bendera Papua.
b. Mendatangkan bantuan dan mengirimkan pasukan dengan kapal perangnya ke perairan Irian, antara lain kapal Karel Doorman.
c. memperkuat angkatan perang Belanda di Irian Barat.
Dengan kenyataan itu, perjuangan pembebasan Irian Barat secara militer tampaknya tidak mungkin dihindarkan.
Tanggal 19 Desember 1961 melalui rapat umum di Yogyakarta, Presiden Soekarno Mencanangkan TRIKORA (Tri Komanda Rakayat),dan berikut isi TRIKORA :
a. Gagalkan pembentukan Negara papua
b. Kibarkan Sang merah putih di Irian Barat.
c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah air.

2.Operasi Militer dibawah Komando Mandala
Sebagai tindak lanjut program TRIKORA,Presiden Soekarno membentuk Mandala pembebasan Irian Barat. Yang dibentuk pada tanggal 2 Januari 1962 yang dipimpin oleh Mayor Jendral Suharto.Pusat dari komanda mandala berada di Ujungpandanguntuk melaksanan Trikora.
Untuk melaksanakan tugas itu,Komando Mandala melakuakan langkah-langkah berikut:
a. merencanakan,mempersiapkan dan melaksanakn operasi militer
b. mengembangkan situasi militer di wilayah Provinsi Irian Barat
Dalam rangka mempersiapkan operasi militer. Komando Mandala telah tahapan perjuangan.Pada bulan Maret sampai Agustus 1962 telah dimulai pendaratan pasukan ABRI dan sukarelawan dari laut & udara,dengan mendaratkan pasukan ditempatnya,misalnya:
a. Operasi Banteng di Fak-Fak Dan Kaimana
b. Operasi Srigala di Sorong dan Teminabiuan
c. Operasi Naga di Merauke
d. Operasi Jatayu di Sorong,Kaimana,dan Merauke

Pada tahapan persiapan dan infiltrasi telah terjadi insiden pertempuran di Laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962.Pada waktu itu kapal RI motor terpedo boat Macan Tutul yang sedang patroli diserang oleh Belanda.Terjadilah pertempuran akan tetapi kapal RI Macan Tutul terbakar dan tenggelam.Dalam insiden ini meniggalah Komodor Yos Sudarso dan Kapten Laut Wiratno
Gerakan infiltrasi terus dilakukan.Pasukan mulai mendarat dan menguasai beberapa daerah di Irian Barat. Berikut para sukarelawan dan sukarelawati. Bendera merah putih mulai dipancangkan di berbagai daerah.

3. Rencana Bunker
Melihat pasukan Indonesia itu, Belanda mulai khawatir dan kewalahan. Dunia Internasional mangetahui dan mulai khawatir Amerika serikat mulai menekan Belanda agar mau beruding. Ellswoth Bunker, seorang diplomat AS ditunjuk sebagai penengah. Bunker selanjutnya mengusulka pokok-pokok penyalsaia masalah Irian Barat secara damai. Poko-poko usulan Bunker itu,antara lain berisi sebagai berikut.
a. Belanda akan menyarahkan Irian Barat kepada Idonesia melalui badan PBB, yAkni UNTEA(United Nations Temporary Executive Authority)
b. Pemberian hak bagi rakyat Irian Barat untuk menetukan pendapat tentang kedudukan Irian Barat.
pokok tersebt dikenal dengan Rencana Bunker.Berdasarkan Rencana tersebut maka pada tanggal 15 Agustus 1962 tercapailah persetujuan antara indonesia dan belanda yang dikenal dengan Persetujuan New York
Adapun isi Perjanjian New York, antara lain:
a. Belanda harus sudah menyerahkan Irian Barat kepada UNTEA selambat-selambatnya 1 Oktober 1962.Bendera Belanda diganti dengan bendera PBB
b. Pasukan Yang sudah ada di Irian Barat tetap tinggal di Irian Barat dan dibawah kekuasaan UNTEA
c. Angkatan perang Belanda berangsur-angsur ditarik dan dikembalikan ke negeri Belanda.
d. Bendera Indonesia malai berkibar di Irian Barat disamping bendera PBB sejak tanggal 31 Desember 1962
e. Pemerintah RI akan menerima pemerintahan Irian Barat dari UNTEA selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963

4. Akhir Konfrotasi Irian Barat Dan Papua
Setelah perundingan di New York,datanglah pemerintah untuk tembak-menembak antara kedua pihak.Dengan demikian Operasi Jayawijwya batal dilancarkan.
Sebagai pelaksanaan isi perjanjian new york secara resmi belanda menyerahkan irian baratkepada UNTEA. Pada tanggal 1 mei 1963 PBB menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Penyerahan Itu dengan syarat pemerintah Indonesia mengadakan pungutan pendapat rakyat. Dengan damikian, Berakhiralah kekuasaan Belanda di Indonesia.Dan kemudian Irian Barat diganti menjadi menjadi Irian Jaya dan bergabung dengan Republik Indonesia

Simpulan Materi
  • Perjuangan pembebasan Irian Barat berlangsung cukup lama yakni sejak KMB (1948) sampai dengan penentuan pendapat rakayat (Pepera1962).
  • Perjuangan secara politik dilakukan melalui perundingan secara langsung dengan Belanda, diplomasi lewat PBB, gerakan pemogokan, dan nasionalisasi perusahaan milik Belanda di Indonesia.
  • Konfrontasi secara militer, dicetuskan melalui rapat umum di Yogyakarta. dalam rapat umum tsb presiden Sukarno menggelorakan Trikora (Tri Komando Rakyat).
  • Pelaksanaan operasi militer dipimpin oleh Komando Mandala.
  • Titik terang perjuangan pembebasan Irian Barat itu setelah ada Rencana Bunker dan perjanjian New York Pada tanggal 15 Agustus 1962.
  • Perjuangan pembebasan Irian Barat ditandai dengan adanya UNTEA dan pelaksanaan pepera.

USAHA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI BERBAGAI DAERAH

1.Peristiwa 10 November Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. [2]
Kronologi penyebab peristiwa
Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby).
Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ... " [4]
Ultimatum 10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600. [3] Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

2.Palagan Ambarawa
Kronologi peristiwa
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan tersebut malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, namun ia keburu gugur terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Kol. Soedirman merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan napas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
3.Pertempuran di Ambarawa
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, kemudian disusul oleh penembak-penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol. Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.

4.Pertempuran Medan Area 1 Desember 1945
Pada tanggal 9 Oktober 1945 tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly. Awalnya mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Saat itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan. Sejak saat itulah Medan Area menjadi terkenal. Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan terhadap unsur Republik yang berada di kota Medan.
Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan TKR untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area.


5.Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung[rujukan?] membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Latar belakang
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, TNI kala itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946.[rujukan?] Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.[rujukan?] Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Asal istilah
Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembumihangusan tersebut. Jenderal A.H Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris tersebut.
"Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air." - A.H Nasution, 1 Mei 1997
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul "Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api".


6.  Peristiwa Merah-Putih 14 Februari 1946 di Manado
Kutipan:
‘’Puluhan pembom B-29 Angkatan Udara Sekutu memusnahkan Kota Manado sampai menjadi puing. Banyak penduduk tewas. Tokoh-tokoh nasionalis dicurigai Jepang sebagai mata-mata Sekutu, sebagiannya terdiri dari para raja Sangihe-Talaud, tokoh Tionghoa dan beberapa pejabat polisi dan pamong praja yang menjalankan hukuman mati.’’
September 1945
Pemuda Sulawesi Utara membentuk Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI) sementara NICA-Belanda di bawah perlindungan Sekutu menduduki kembali Indonesia Timur, khususnya Sulawesi Utara, dan segera berusaha memulihkan kekuasaannya dari masa Hindia-Belanda tetapi terlibat clash dengan pasukan pemuda BPNI.
NICA telah membentuk kembali LOI (organisasi pusat ketentaraan) sebesar 8 kompi yang terdiri dari tentara KNIL bekas pasukan Sekutu dengan menerima juga bekas Heiho-Jepang dan pensiunan militer (reserve corps).
Sesuai misi dari Ratulangi pasukan NICA ini harus disusupi oleh para pemuda pejuang militer untuk kemudian dibantu oleh pemuda (BPNI) mewujudkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini terlaksana sehingga di asrama militer di Teling-Manado dibentuk suatu organisasi gelap yang sangat rahasia oleh Freddy Lumanauw dan Wangko Sumanti yang dinamakan mereka: ‘’Pasukan Tubruk’’.
Januari 1946:
Akhir Desember 1945, seluruh pasukan Sekutu (Australia) meninggalkan Manado dan tugas Sekutu diserahkan kepada NICA-KNIL di bawah pimpinan Tentara Inggris yang berpusat di Makassar. BPNI melihat kesempatan ini dan pemimpinnya, John Rahasia dan Wim Pangalila, merancangkan suatu pemberontakan pemuda yang akan dibantu oleh Freddy Lumanauw dari Pasukan Tubruk di Teling.
Bagian NEFIS-Belanda mulai mencurigai Lumanauw dan Pakasi yang kedapatan telah disusupkan oleh Dr Ratulangi dari Jakarta ke dalam KNIL. Mereka berdua dimasukkan dalam penjara di Manado oleh oditur militer Schravendijk dan akan diproses untuk diadili.
Rencana John Rahasia dan Wim Pangalila untuk merebut kekuasaan pada upacara NICA 10 Januari, juga diketahui NEFIS dan semua tokoh pemuda BPNI di Manado dan Tondano telah ditangkap pada hari sebelumnya. Dua minggu kemudian mereka dilepaskan karena belum ada bukti hukum untuk dapat dituntut di mahkamah militer.
Februari 1946
Komplotan militer KNIL di Teling masih dicurigai oleh bagian intel NEFIS dan panglima KNIL yang bermarkas di Tomohon memerintahkan supaya menahan dalam ‘’streng arrest’’ di Teling para pemimpinnya, yakni Furir Taulu, Sersan Wuisan, Wangko Sumanti, Frans Lantu, Yan Sambuaga dan Wim Tamburian, karena mereka telah menghasut tentara Indonesia dari kompi-kompi di Teling, Tomohon dan di Girian supaya berontak karena kekurangan gaji, ransun, rokok, berbeda dengan jaminan yang terima oleh sesama tentara bangsa Belanda. Apalagi tentara Indonesia yang berpegang di bawah pimpinan Sekutu dalam Perang Dunia II dihargai dan dijamin sama terhadap seluruh pasukan.
Belanda tidak mengetahui bahwa hasutan-hasutan di seluruh kalangan militer Indonesia hanyalah untuk menutupi rahasia yang bertujuan sebenarnya untuk menggulingkan kekuasaan Belanda dan menegakkan kemerdekaan Indonesia.
Pimpinan rencana kup ini hanya menggunakan strategi kampanye untuk memuluskan pelaksanaannya dengan melancarkan provokasi tentang ketidakadilan jaminan antara tentara Indonesia dan tentara Belanda. Tentara KNIL umumnya bukan inginkan kemerdekaan.
DAMPAK PERISTIWA MERAH PUTIH 14 FEBRUARI 1946 DI MANADO
Di Sulawesi Utara peristiwa Merah-Putih 14 Februari 1946 masih dikenangkan, namun arti dan nilai peristiwa terlupakan. Dampaknya tidak ada lagi sekarang. Waktu Presiden Soekarno memaklumkan pada peringatannya 10 Maret 1965 di Istana ‘’bahwa Hari 14 Februari adalah hari Sulawesi Utara’’ (1) sejarah dunia membenarkan ucapan Bung Karno ini dan, (2) sejarah perjuangan Indonesia mensyukurinya.
Dampak dalam Sejarah Dunia
Berturut-turut radio-radio Australia, San Franscisco dan BBC London dan Harian Merdeka di Jakarta menyiarkan tentang ‘’Pemberontakan Besar di Minahasa’’.
Dampak peristiwa ini pada tentara Sekutu (AS-Inggris-Belanda) menggemparkan. Bagi tentara AS yang sudah payah dan ingin pulang ke tanah airnya, masih harus mendeportasi 8000 tawanan tentara Jepang di Girian.
Apa akan jadi kalau mereka dilepaskan dan bergabung dengan pasukan PPI-Merah Putih? Mereka belum lupa bahwa di Pulau Okinawa 1500 tentara AS menjadi korban menghadapi tentara Nippon yang juga bertempur habis karena ‘’hara kiri’’. Tentara Inggris di Makassar (South East-Asia Command Outer Islands) masih trauma karena Jenderal Mallaby terbunuh pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Tentara Belanda yang menjadikan Minahasa sebagai basisnya yang kuat untuk menyerang Republik Indonesia  yang berpusat di Yogya, malah harus menyerahkan diri kepada TRISU-Taulu di Teling. Peristiwa 14 Februari 1946 di Manado tercatat dalam sejarah dunia, karena wakil Sekutu-Inggris di Makassar Col Purcell menyatakan pada 24 Februari 1946 di Teling-Manado ‘’bahwa pada hari ini tentara Sekutu menyatakan perang dengan kekuasaan Sulawesi-Utara (Lapian-Taulu)’’.
Sulawesi Utara sudah dianggapnya suatu negara merdeka yang memiliki wilayah, pemerintah, tentara dan rakyatnya sendiri secara utuh dari 14 Februari tetapi akhirnya menyerah kalah pada 11 Maret 1946.
Dampaknya dalam Sejarah Indonesia
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 memberikan tugas kepada seluruh bangsa Indonesia: ‘’Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Soekarno-Hatta.’’  Tugas ini telah dilaksanakan oleh Lapian-Taulu dengan sangat berhasil melalui kudeta 14 Februari  1946, walaupun hanya dapat bertahan selama 24 hari dan kemudian dilanjutkan dengan revolusi kemerdekaan sampai akhir 1950 (KMB).
Selama perang kemerdekaan RI dari 1945-1949, hanya kudeta 14 Februari 1946 yang berhasil merebut kekuasaan Belanda dan menggantikannya dengan suatu pemerintahan nasional yang merdeka di bawah pimpinan Lapian-Taulu. Semua pejabat Belanda NICA-KNIL ditangkap, ditawan dan dideportasi ke Morotai. Di tahun 1946-1948 sesuai perjanjian Linggarjati dan Renville oleh kedua pihak RI dan Belanda, wilayah nusantara yang di luar Jawa-Sumatera tidak termasuk dalam kekuasaan RI yang berpusat di Yogya, namun pemerintah Merah-Putih Lapian-Taulu pada 22 Februari 1946 menyatakan dalam rapat umum di Lapangan Tikala Manado, bahwa Sulawesi Utara adalah bagian dari NKRI yang berpusat di Yogya.
Peristiwa Merah-Putih di Sulawesi Utara meliputi seluruh perjuangan kemerdekaan di daerah Gorontalo, Bolaang Mongondow, Manado, Minahasa dan Sangir-Talaud yang dinyatakan oleh Bung Karno dipusatkan pada 14 Februari sebagai Hari Sulawesi Utara. Hal ini dilandasi pada fakta di Sulawesi Utara sendiri, karena pada saat itu tokoh-tokoh perintis kemerdekaan di daerah, Nani Wartabone,  Raja Manoppo, OH Pantouw, GEDA Dauhan berada dan turut serta dalam menegakkan kemerdekaan Merah Putih di Manado.
LN Palar wakil Indonesia di PBB menyatakan sendiri bahwa RI diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia, termasuk rakyat Sulawesi Utara, buktinya dengan peristiwa Merah-Putih di Manado, seraya membantah Wakil Belanda Kleffen yang berargumentasi bahwa perjuangan kemerdekaan RI hanya untuk Jawa dan Sumatera.
Bagaimana tentang perjuangan KRIS di Jawa? Di tahun 1945 daerah Minahasa, khususnya kawanua, begitupun KRIS, dicurigai oleh laskar-laskar seperjuangan di Jawa, sebagai ‘’kaki-tangan Belanda’’. Kawanua di Jawa menghadapi hambatan ini sejak tentara Jepang mendarat di Indonesia. Dr Sam Ratulangi di Jakarta dan Joop Warouw di Surabaya waktu Jepang mendarat, berusaha menyelamatkan para keluarga kawanua di Jawa, karena mereka dituduh dan dianggap ‘’Londo’’ (Belanda), musuh Nippon. Di waktu revolusi kemerdekaan yang berkobar pada 1945, KRIS pun masih dicurigai malah dinista bahwa laskar-laskar perjuangannya tidak ikhlas, hanya untuk menyelamatkan muka dan kulitnya.
Tetapi dengan peristiwa 14 Februari 1946 segala kecurigaan ini terhapus sudah dan KRIS diakui benar sebagai ‘’comrade-in-arms’’ dalam menegakkan NKRI, bahkan di Minahasa rakyat seluruhnya sudah mendahului. Pada peristiwa 14 Februari 1946, Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) menghitung 5000 anggota yang bergabung dengan TRISU dari Letkol Taulu. Tokoh utama yang berhasil merebut tangsi KNIL di Teling, Mambi Runtukahu, akhirnya gugur pada 10 Maret 1946 sebagai kusuma bangsa. Juga Alo Porayouw telah gugur pada pagi 14 Februari 1946 waktu hendak menangkap Komandan KNIL di Tomohon.
Karena senjata tidak ada pada PPI dan hanya dipegang oleh TRISU maka Sekutu/Belanda dengan mudah mengambil alih kekuasaan dengan pendaratan Divisi ‘’7  Desember’’ pada 10 Maret 1946 oleh kapal perang HMS Piet Hein.
Sejarah perjuangan ini tidak dikenal apalagi dihayati oleh generasi penerus termasuk anak-anak yang masih di bangku sekolah. Ada buku sejarah yang dianjurkan berturut-turut oleh dua Kepala Dinas PDK di Sulut untuk dipakai di semua sekolah, tetapi effeknya dalam kehidupan sehari-hari tampaknya tidak ada.
Hari Sulawesi Utara yang dipuja oleh Bung Karno waktu peringatan di Istana Negara 10 Maret 1965 tidak dikenal atau digubris oleh masyarakat Provinsi Sulawesi Utara.
Otto Rondonuwu, Ketua Komisi LN pada KNIP di Yogyakarta menyampaikan suatu ucapan Bung Karno, ketika mendengar berita ‘’Pemberontakan Besar di Minahasa’’ dari AFP-Radio Australia, yang berbunyi: (baca buku ‘’Sulawesi Utara Bergolak’’).
‘’Minahasa, walaupun daerah terkecil dan terpencil di wilayah Republik Indonesia, namun putera-puteranya telah memperlihatkan kesatriaannya terhadap panggilan Ibu Pertiwi. Laksanakan tugasmu dengan seksama dan penuh tanggung-jawab!’’.