TATA HUKUM INDONESIA
A.
Pengertian Tata Hukum
Jika kita
berbicara hukum, maka hukum dalam bahasa Inggris “Law”, Belanda “Recht”,
Jerman “Recht”, Italia “Dirito”, Perancis “Droit”. Hukum hidup
dalam pergaulan hidup manusia, seperti kita lihat cerita Robinson Croese yang
terdampar di sebuah pulau dimana ia hidup sendiri dan ia dapat berbuat sesuka
hatinya tanpa ada yang menghalanginya. Ia tidak butuh hukum, artinya hukum itu
baru dibutuhkan dalam pergaulan hidup. Dimana fungsinya adalah
memperoleh ketertiban dalam hubungan antar manusia. Menjaga jangan sampai seseorang dapat dipaksa oleh orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak kehendaknya, dan lain-lain.
memperoleh ketertiban dalam hubungan antar manusia. Menjaga jangan sampai seseorang dapat dipaksa oleh orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak kehendaknya, dan lain-lain.
Tetapi ada faktor
lain selain tata tertib yang terdapat pada hukum yaitu keadilan, suatu sifat
khas pada hukum yang tidak terdapat pada ketentuan-ketentuan lainnya yang
bertujuan untuk mencapai tata tertib. Jadi hukum itu berkenaan dengan kehidupan
manusia, ialah manusia dalam hubungan antar manusia untuk mencapai tata tertib
didalamnya berdasarkan keadilan.
Dalam hubungan
Hukum dan Negara, baik hukum maupun negara muncul dari kehidupan manusia karena
keinginan bathinnya untuk memperoleh tata tertib. Sehubungan dengan hal itu
mengingat tujuan negara adalah menjaga dan memelihara tata tertib. Di Negara
Indonesia seperti kita ketahui bahwa tata hukum di Indonesia ialah hukum yang
berlaku sekarang di Indonesia (Ius Constitutum), berlaku disini berarti
yang memberikan akibat hukum pada peristiwa-peristiwa dalam pergaulan hidup,
sedangkan sekarang adalah menunjukkan kepada pergaulan hidup yang ada pada saat
ini dan bukan pergaulan hidup masa lampau, di Indonesia menunjukkan kepada
pergaulan hidup yang terdapat pada Republik Indonesia dan bukan negara lain.
Tata hukum disebut juga Hukum Positif atau Ius Constitutum, sedang hukum
yang dicita-citakan adalah Ius constituendum.
Hukum yang
berlaku, terdiri dari dan diwujudkan oleh aturan-aturan hukum yang saling
berhubungan, dan oleh karena itu keberadaannya merupakan suatu susunan atau
tatanan sehingga disebut tata hukum. Suatu masyarakat yang menetapkan tat hukum
bagi masyarakat itu sendiri dan tunduk pada tata hukum tersebtu, disebut
masyarakat hukum.
Tata Hukum
Indonesia ditetapkan oleh masyarakat hukum Indonesia atau oleh negara
Indonesia. Oleh sebab itu Tata Hukum Indonesia ada sejak Proklamasi
Kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini berarti bahwa sejak saat
itu bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk menentukan dan melaksanakan
hukumnya sendiri, yaitu hukum bangsa Indonesia dengan tata hukumnya yang baru
inilah Tata Hukum Indonesia.
Di dalam
memorandumnya tertanggal 9 Juni 1966, DPRGR antara lain menyatakan bahwa :
Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945
adalah detik ‘penjebolan’ tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan
tertib hukum nasional, tertib hukum Indonesia dan seterusnya ….
Dengan demikian
jelaslah kiranya bahwa Proklamasi berarti :
1.
Menegarakan
Indonesia, menjadi suatu negara;
2.
Pada saat itu
pula menetapkan Tata Hukum Indonesia.
Meskipun kita telah merdeka dan
berdaulat dan telah pula dapat merubah sistem dan dasar susunan ketatanegaraan,
namun dalam bidang hukum belum mampu mengubah sama sekali hukum yang sudah
berlaku dalam masyarakat. Ketidakmampuan ini diakui negara, yaitu dengan selalu
mengadakan peraturan peralihan dalam undang-undang dasarnya (Pasal peralihan
adalah pasal yang berisi petunjuk mengenai peralihan dari tata hukum yang lama
ke tata hukum yang baru).
Pasal
peralihan yang dimaksud terdapat pada Pasal II aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut : “Segala Badan Negara
dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Pada peraturan peralihan ini
diharapkan supaya hal-hal atau segala sesuatu yang masih hidup dan terdapat
dalam masyarakat boleh dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan
dengan keputusan baru yang dibuat, atau dalam tata hukum yang baru belum diatur,
maka perlu dicari peraturan yang
mengatur hal tersebut sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi
peraturan peralihan ialah mencegah terjadinya kevakuman hukum.
Guna mencegah kekosongan atau kevakuman itu, dengan melalui Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 diberlakukan peraturan-peraturan yang berasal
dari zaman Hindia Belanda selama tidak
bertentangan atau belum dibuat menurut UUD baru.
Namun demikian tidaklah berarti bahwa
tata hukum Indonesia adalah kelanjutan dari tata hukum Hindia Belanda selama tidak bertentangan
dengan jiwa UUD 1945. Keadaan demikian pun terjadi pada waktu kita di
bawah Konstitusi RIS maupun di bawah UUD
1950. Dalam kedua konstitusi itu pun
tercantum adanya peraturan peralihan, masing-masing terdapat pada Pasal 192 UUD
RIS dan Pasal 142 UUD 1950.
B.
Sejarah Hukum Dan Politik Hukum Indonesia
Seperti
diketahui, bahwa di Indonesia terdapat beraneka ragam peraturan
perundang-udangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia sejak Proklamasi
17 Agusus 1945. Disamping peraturan tersebut juga terdapat peraturan-peraturan
zaman penjajahan Hindia Belanda dan bala tentara jepang yang masih berlaku di
Indonesia. Oleh karena itu dalam pembahasan Tata Hukum Indonesia tidaklah dapat
lepas dari pembahasan sejarah Perkembangan Tata Hukum Indonesia sejak kekuasaan
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Penjajahan Hindia Belanda
sampai dengan Penjajahan balatentara Jepang. Berikut ini dibahas secara singkat
sejarah perkembangan Tata Hukum Indonesia.
a. Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC)
VOC yang
didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak
terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang
pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa.
Sebagai kompeni dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa (octrooi)
seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang,
hak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak
mencetak uang.
Pada tahun 1610
pengurus pusat VOC di belanda memberikan wewenang kepada Gebernur Jederal Piere
Bith untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara Istimewa yang harus
disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang
dikuasainya, disamping ia dapat memutuskan perkara perdata dan pidana.
Peraturan-peraturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui “plakat”.
Pada tahun 1642
plakat-plakat tersebut disusun secara sistimatis dan diumumkan dengan nama “Statuta
van Batavia” (statuta batavia) dan pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama
“Niewe Bataviase Statuten” (statuta Batavia Baru). Peraturan statuta ini
berlaku diseluruh daerah-daerah kekuasaan VOC berdampigan berlakunya dengan
aturan-aturan hukum lainnya sebagai satu sistem hukum sendiri dari orang-orang
Pribumi dan Orang-Orang pendatang dari luar.
b. Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942
Sejak berakhirnya kekuasaan VOC pada tanggal
31 Desember 1977 dan dimulainya Pemerintahan Hindia Belanda pada Tanggal 1
Januari 1800, hingga masuk pemerintahan jepang, banyak peraturan-peraturan perundang-undangan
yang telah dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Yang menjadi pokok
peraturan pada zaman Hindia belanda adalah:
1) Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Peraturan
ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 termuat dalam Stb 1847 No. 23. Dalam
masa berlakunya AB terdapat beberapa peraturan lain yang juga diberlakukan
antara lain:
o
Reglement of
de Rechterlijke Organisatie (RO)
atau peraturan organisasi Pengadilan.
o
Burgerlijk
Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil/Perdata
(KUHS/KUHP)
o
Wetboek van
Koophandel (WvK) atau Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
o
Reglement op
de Burgerlijke Rechhtsvordering (RV)
atau peraturan tentang Acara Perdata.
Semua
peraturan itu diundangkan berlaku di Hindia Belanda sejak tanggal 1 Mei 1845
melalui Stb 1847 No. 23.
2) Regering Reglement (R.R.),
diundangkan pada tanggal 2 September 1854, yang termuat dalam Stb 1854 No. 2.
Dalam masa berlakunya R.R. selain tetap memberlakukan peraturan
perundang-undangan yang ada juga memberlakukan Wetboek van Strafrecht atau
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3)
Indische Staatsregeling (I.S.), atau peraturan ketatanegaraan Indonesia
yang merupakan pengganti dari R.R Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi
I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 1926.
c.
Penjajahan Tentara Jepang
Peraturan
pemerintahan Jepang adalah Undang-Undang No.1 tahun 1942 (Osamu Sirei)
yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda selama tidak bertentangan dengan kekuasaan Jepang.
Berlakunya hukum dalam suatu negara
ditentukan oleh Politik hukum negara yang bersangkutan, disamping kesadaranan
hukum masyarakat dalam negara itu. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
politik hukum hendaknya perlu diketahui terlebih dahulu arti Politik Hukum.
Arti Politik Hukum adalah Suatu jalan (kemungkinan) untuk memberikan wujud
sebenarnya kepada yang dicita-citakan. Dapat pula dilihat pendapat Padmo
Wahyono bahwa Politik Hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk
dan isi hukum yang akan dibentuk. Pendapat dari Teuku Mohammada Radhie, S.H
(Prisma No. 6 Thn. ke II Des. 1973) menyatakan; “Adapun politik hukum di sini
hendak kita artikan sebagai pernyataan kehendak Penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya, dan mengenai arah ke mana hukum hendak dikembangkan”. Oleh karena
itu berdasarkan pengertian tersebut, suatu politik hukum memiliki tugasnya
meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha membuat suatu ius
constituendum menjadi ius constitutum atau sebagai penganti ius constitutum
yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan politik
hukum berbeda artinya dengn ilmu politik, sebab ilmu politik memiliki
pengertian menyelidiki sampai seberapa jauh batas realisasi yang dapat
melaksanakan cita-cita sosial dan kemungkinan apa yang dapat dipakai untuk
mancapai suatu pelaksanaan yang baik dari cita-cita sosial itu. Politik hukum
suatu negara biasanya dicantumkan dalam Undang-Undang Dasarnya tetapi dapat
pula diatur dalam peraturan-peraturan lainnya. Politik Hukum dilaksanakan
melalui dua segi, yaitu dengan bentuk hukum dan corak hukum tertentu. Bentuk
hukum itu dapat:
(1) Tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang
ditulis dalam suatu Undang-Undang dan berlaku sebagai hukum positif. Dalam
bentuk tertulis ada dua macam yaitu:
a. Kodifikasi ialah disusunnya
ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah kitab secara sistematik dan teratur.
b. Tidak dikodifikasikan ialah sebagai
undang-undang saja.
(2) Tidak
tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai hukum yang semula
merupakan kebiasaan-kebiasaan dan hukum kebiasaan.
Corak
hukum dapat ditempuh dengan:
1) Unifikasi yaitu berlakunya satu sistem hukum
bagi setiap orang dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
2) Dualistis yaitu berlakunya dua sistem hukum
bagi dua kelompok sosial yang berbeda didalam kesatuan kelompok sosial atau
suatu negara.
3)
Pluralistis yaitu
berlakunya bermacam-macam sistem hukum bagi kelompok-kelompok sosial yang
berbeda di dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
Di atas
telah dijelaskan arti, bentuk, dan corak politik hukum, berikut ini dibahas
Politik Hukum bangsa Indonesia. Keberadaan Hukum di Indonesia sebagaimana telah
dijelaskan diatas sangatlah dipengaruhi oleh keberadaan sejarah hukum. Hal ini
dapat dilihat masih banyaknya undang-undang yang dibuat jaman Hindia Belanda
sampai sekarang masih berlaku. Selain itu, masuknya hukum Islam juga
mempengaruhi hukum di Indonesia, sebagian permasalahan-permasalahan perdata
masih menggunakan hukum Islam. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dahulu
bagaimana politik Hukum Hindia Belanda sehingga dapat memahami bagaimana
Politik Hukum Indonesia. Keberadaan Politik hukum Hindia Belanda dapat dilihat berdasarkan
berlakunya 3 pokok peraturan Belanda yaitu masa berlakunya AB, RR dan IS.
Masa Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia (A.B). Pada masa berlakunya AB politik hukum Pemerinthan
penjajahan Hindia belanda dapat dilihat dalam pembagian golongan dan berlakunya
hukum bagi masing-masing golongan tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda
berdasarkan Pasal 5 AB membagi kedalam dua golongan, pasal ini menyatakan bahwa
penduduk Hindia Belanda di bedakan kedalam Golongan Eropa (berserta mereka yang
dipersamakan) dan Golongan Pribumi (berserta mereka yang dipersamakan
dengannya). Sedangkan hukum yang berlaku bagi masing-asing golongan tersebut
diatur didalam Pasal 9 AB dan Pasal 11 AB. Adapun yang diatur didalam kedua
pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan
kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 9 AB : “Menyatakan bahwa Kitab
Undang-Undang Hukum perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum dagang (yang
diberlakukan di hindia belanda) hanya akan berlaku untuk orang Eropa dan bagi
mereka yang dipersamakan dengannya”.
Pasal 11 AB: “Menyatakan bahwa untuk golongan
penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan
kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh hukum, pranata dan kebiasaan
itu tidak berlawanan dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum
dan pula apabila terhadap orang-orang pribumi itu sendiri ditetapkan berlakunya
hukum eropa atau orang pribumi yang bersangkutan telah menundukan diri pada
hukum eropa”
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka
pemerintah penjajahan Belanda melaksanakan politik hukumnya dengan bentuk hukum
tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis ada yang
dikodifikasikan dan terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek
van Koophandel (WvK); yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam
undang-undang dan peraturan lainnya yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan
yang tidak tertulis, yaitu hukum perdata Adat dan berlaku bagi setiap orang di
luar golongan Eropa. Corak hukumnya dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu
sistem hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan satu sistem hukum
perdata lain yang berlaku bagi golongan Indonesia.
Membedakan golongan untuk memberlakukan hukum
perdataberdasarkan sistem hukum dari masing-masing golongan menurut pasal 11 AB
itu sangat sulit dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan
yang tegas walaupun ada ketentuan pembagian golongan berdasarkan pasal 5. Dalam
pasal 5 hanya menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra, orang yang disamakan
dengan orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Bumiputra.
Pembagian golongan menurut pasal 5 hanya
berdasarkan kepada perbedaan agama, yaitu yang beragama Kristen selain orang
Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang tidak beragama Kristen disamakan
dengan orang Indonesia. Karena itu dapat dikatakan bahwa bagi setiap orang yang
beragama Kristen yang bukan orang Eropa kedudukan golongannya sama dengan orang
Eropa, berarti bagi orang Indonesia Kristen termasuk orang yang disamakan
dengan orang Eropa. Hal ini tentunya berlaku juga bagi orang-orang Cina, Arab,
India dan orang-orang lainnya yang beragama Kristen disamakan dengan orang
Eropa. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama Kristen selain orang
Indonesia dipersamakan kedudukannya dengan orang bumiputra. Tetapi karena pasal
10 AB memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk menetapkan peraturan
pengecualian bagi orang Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10, pasal 3
nya Gubernur Jenderal menetapkan bahwa “orang Indonesia Kristen dalam lapangan
hukum sipil dan hukurn dagang juga mengenai perundang-undangan pidana dan
peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan
demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk golongan
orang bumiputra dan tidak dipersamakan dengan orang Eropa.
Masa Regering Reglement (R.R.). Politik
hukum pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum
pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam pasal 75 RR yang pada
asasnya seperti tertera dalam pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya
tetap dalam dua golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi
melainkan atas kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah” Dan ketentuan
terhadap pembagian golongan ini dicantumkan dalam pasal 109 Regerings
Reglement. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah
ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal
tersebut):
Pasal 109 RR: “Pada pokoknya sama dengan Pasal
5 AB tetapi orang Pribumi yang beragama Kristen tetap dianggap orang pribumi
dan bagi orang Tionghoa, Arab serta India dipersamakan dengan Bumi Putera”.
Pasal 75 RR: “Menyatakan tetap memberlakukan
hukum eropa bagi orang eropa dan hukum adat bagi golongan lainnya”.
Pada tahun 1920 RR itu mengalami perubahan
terhadap beberapa pasal tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengar
sebutan RR (baru) dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926. Karena
itu selama berlakunya dari tahun 1855 sampai 1926 dinamakan Masa Regerings
Reglement.
Sedangkan politik hukum dalam pasal 75 RR
(baru) mengalami perubahan asas terhadap penentuan penghuni menjadi “pendatang”
dan “yang didatangi”. Sedangkan penggolongannya dibagi menjadi tiga golongan,
yaitu golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing.
Masa Indische Staatsregeling (I.S.). Berlakunya
IS dengan sendirinya telah menghapus berlakunya RR. Politik Hukum Pemerintahan
hindia belanda pasa saat berlakunya IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131
IS. pada Pasal 163 IS mengatur pembagian golongan, yang pada intinya seluruh
isinya dikutip dari Pasal 109 RR (baru). Sedangkan Pasal 131 IS mengatur hukum
yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam
kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan
kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 163 IS: Penduduk Hindia Belanda dibedakan
atas tiga golongan, yakni:
1.
Golongan Eropa
2.
Golongan Bumi
Putera
3.
Golongan Timur
Asing.
Pasal
131 IS menyatakan beberapa hal yakni :
1.
Menghendaki
supaya hukum itu ditulis tetap di dalam ordonansi.
2.
Memberlakukan
hukum belanda bagi warga negara belanda yang tinggal di hindia belanda
berdasarkan asas konkordansi.
3.
Membuka
kemungkinan untuk unifikasi hukum yakni menghendaki penundukan bagi golongan
bumiputra dan timur asing untuk tunduk kepada hukum Eropa.
4.
Memberlakukan dan
menghormati hukum adat bagi golongan bumi putera apabila masyarakat menghendaki
demikian.
Pembagian golongan penghuni berdasarkan Pasal
163 IS sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi
masing-masing golongan sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS.
Diatas
telah dijelaskan politik hukum pada masa penjajahan belanda, dibawah ini akan
dijelasakan politik hukum Indonesia setelah merdeka. Di dalam UUD 1945 kita
tidak menjumpai satu Pasal pun yang menyebutkan masalah politik hukum negara
Indonesia. Tersurat memang tidak ada tetapi tersirat dapat kita jumpai pada
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Lain halnya pada Undang-Undang Dasar 1950,
kita dapat menjumpai suatu pasal yang memuat politik hukum negara Indonesia di
bawah UUD 1950, yaitu pada pasal 102 yang berbunyi sebagai berikut: “Hukum
perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana militer, hukum
acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan, diatur
dengan undang-undang dalam kitab-kitab
hukum, kecuali jika pengundang-undang tersendiri”.
Dari
Pasal 102 UUD 1950 kita dapat mengambil kesimpulan bahwa negara Indonesia pada
waktu itu menghendaki dikodifikasikannya
lapangan-lapangan hukum tersebut, sehingga Pasal 102 ini terkenal dengan
sebutan Pasal Kodifikasi.
Setelah
adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kita kembali lagi ke UUD
1945 dan UUD 1950 menjadi tidak berlaku,
berarti Pasal 102 ikut tidak berlaku. Sampai tahun 1970-an, berarti
telah merdeka selama lebih seperempat abad lamanya, negara Indonesia belum
mempunyai rumusan suatu politik hukum nasional. Baru pada tahun 1973 dengan
terbentuknya MPR hasil pemilihan umum lembaga tersebut berhasil menetapkan
Ketetapannya Nomor IV/MPR/73 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang di
dalamnya secara resmi dan tegas kita selalu diperbaharui setiap Pemerintah RI.
Dalam hal ini politik hukum kita selalu diperbaharui setiap lima tahun sekali , pada tahun 1978
tertuang dalam Tap. MPR No. IV, sedang pada periode 1983 terdapat pada Tap
MPR/II. Pada periode 1988 terdapat pada Tap. No. II/MPR/1988 dan Tap No. IV/
MPR/1999. Sehubungan dengan adanya
amandemen UUD 1945 yang ke-3 pada pasal yang berbunyi :
(1) MPR berwenang mengubah dan menetapkan
Undang-undang Dasar.
(2) MPR melantik Presiden dan/atau Wakil
(3) MPR hanya dapat memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Dari Pasal 3 ini terlihat tidak ada wewenang
MPR menetapkan GBHN lagi.
C.
Pembinaan Hukum Nasional
Setiap negara yang merdeka dan
berdaulat harus mempunyai hukum nasional di segala bidang hukum. Masalah
pembinaan hukum nasional memang segera setelah proklamasi, menarik perhatian
banyak sarjana hukum kita, untuk menyalurkan segala kegiatan pembinaan hukum
nasional dalam satu wadah. Pada tahun 1956 Perhimpunan Sarjana Hukum Nasional
Indonesia telah mengajukan permohonan kepada Perdana Menteri RI agar dibentuk
suatu Panitia negara Pembinaan Hukum Nasional. Denga Keputusan Presiden Nomor
107 Tahun 1958, dibentuklah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional di Jakarta dengan
diberi tugas: “ Melaksanakan pembinaan hukum nasional dengan tujuan mencapai
tata hukum nasional”.
1.
Menyiapkan
rancangan-rancangan peraturan perundangan:
a.
untuk meletakkan
dasar-dasar tata hukum nasional;
b.
untuk
menggantikan peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan tata hukum nasional;
c.
untuk
masalah-masalah yang belum diatur dalam suatu peraturan perundangan.
2.
Menyelenggarakan
segala sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturan perundangan.
Setelah mempelajari asas-asas hukum yang hidup
di kalangan rakyat Indonesia dan mengadakan rapat dengan orang-orang terkemuka
dari berbagai lapisan dan golongan masyarakat, maka lembaga telah berhasil
merumuskan dasar-dasar dan asas-asas tata hukum nasional sebagai berikut:
1.
Dasar Pokok Hukum
Nasional Ri adalah Pancasila
2.
Hukum nasional
bersifat:
a. Pengayoman;
b. Gotong-royong;
c. Kekeluargaan;
d. Toleransi;
e. Anti kolonialisme, imperialisme, dan
feodalisme.
Dengan adanya UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 6,
Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas:
a. Pengayoman;
b. Kemanusiaan;
c. Kebangssan;
d. Kekeluargaan;
e. Kenusantaraan;
f.
Bhineka Tunggal
Ika;
g. Keadilan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
i.
Ketertiban dan
kepastian hukum;dan/atau
j.
Keseimbangan,
keserasian dan keselarasan
3.
Semua hukum
sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis.
4.
Selain hukum
tertulis berlaku hukum tidak tertulis.
5.
Hakim membimbing
perkembangan hukum tak tertulis melalui
yurisprudensi ke arah keseragaman hukum yang
seluas-luasnya dan dalam hukum kekeluargaan ke arah sistem parental.
6.
Hukum tertulis
mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin dihimpun dalam bentuk
kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara Perdata,
Hukum Acara Pidana, Hukum Acara PTUN).
7.
Untuk membangun masyarakat
sosialis Indonesia diusahakan unifikasi hukum.
8.
Dalam perkara
pidana:
a.
Hakim berwenang
sekaligus memutuskan aspek perdatanya baik karena jabatannya maupun atas
tuntutan pihak yang berkepentingan.
b.
Hakim berwenang
mengambil tindakan yang dipandang patut
dan adil di samping atau tanpa pidana.
9.
Sifat pidana
harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk menjadi warga yang bermanfaat
bagi masyarakat.
10.
Dalam bidang
hukum acara perdata diadakan jaminan supaya peradilan berjalan sederhana,
cepat, dan murah.
11.
Dalam bidang
hukum acara pidana diadakan ketentuan-ketentuan yang merupakan jaminan kuat
untuk mencegah:
a.
Seseorang tanpa
dasar hukum yang cukup kuat ditahan atau lebih lama dari yang diperlukan.
b.
Penggeledahan,
penyitaan, pembukaan surat-surat dilakukan sewenag-wenang.
Suatu peristiwa yang penting dalam
pembinaan hukum nasional adalah penemuan lambang keadilan yang serasi dengan
kepribadian bangsa kita yaitu berupa pohon beringin yang berarti ”pengayoman”
oleh Menteri Dr. Sahardjo yang menggantikan simbol dari negara barat yang
berupa Dewi Keadilan (Themis) yang dibalut matanya dan memegang di satu tangan
pedang dan di tangan lain traju (timbangan).
Jasa beliau yang lain adalah pengganti
lembaga penjara menjadi lembaga pemasyarakatan yang lebih sesuai dengan
sendi-sendi negara kita yang ber-Pancasila. Jasa beliau juga dalam pemecahan
kesulitan yang dihadapi oleh para hakim dalam menerapkan perundangan warisan
zaman kolonial yaitu BW dan WvK. Menurut beliau, kedua kodifikasi itu tidak
berlaku sebagai Wetboek tetapi hanya
sebagai suatu rechtboek, yaitu hanya
sebagai dokumen yang menggambarkan suatu kelompok hukum yang harus dipakai oelh
hakim sebagai “pedoman” dalam melakukan peradilan.
Pembinaan hukum itu artinya tidak saja
membuat yang baru, tetapi juga menyesuaikan hukum yang ada di masyarakat.
Pembinaan itu sendiri harus mempunyai suatu pola, dalam hal ini adalah wawasan
nusantara.
Di dalam negara Republik Indonesia
akan hanya dikenal satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan
nasional. Perlu pula kita ingat bahwa hukum yang akan kita susun adalah hukum
yang modern, meningkatkan kemampuan sesuai dengan kebutuhan, yang mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Konsentris,
artinya satu tangan yang mengatur/membuat (yaitu pengundang-undang).
2.
Konvergen, artinya
hukum Indonesia bersifat terbuka terhadap perubahan dan perkembangan.
3.
Tertulis, untuk
lebih menjamin kepastian hukum.